1.1
Sikap
Hasud
1.1.1 Pengertian Hasud
Kata hasud dalam bahasa Arab berarti orang yang memilki
sifat dengki. Dengki adalah satu sikap mental seseorang tidak senang orang lain
mendapat kenikmatan hidup dan berusaha untuk melenyapkannya, sifat ini harus
dihindari oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
. Rasulullah SAW telah bersabda:
Artinya: “Telah masuk ke tubuhmu penyakit-penyakit umat
tedahulu, (yaitu) benci dan dengki, itulah yang membinasakan agama, bukan
dengki mencukur rambut.” (HR Ahmad dan Turmidzi)
Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa hancurnya agama
sejak dahulu adalah disebabkan oleh timbulnya sifata benci dan dengki diantara
pemeluknya. Betapa kejinya sifat benci dan dengki apabila berkembang
ditengah-tengah masyrakat apalagi di sekolah. Sifat tersebut dapat
menghancurkan nama baik sekolah dan sudah dapat dipastikan sekolah tersebut
akan menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat di sekitarnya.
Perlu diketahui, bahwa seseorang yang dihasudi, tidak akan
pernah berkurang rejekinya karena adanya orang yang hasud kepadanya, bahkan
seorang yang hasud kepadanya tidak akan pernah mampu “mengambil sesuatu” yang
dimiliki oleh orang yang dihasudi tersebut. Oleh karena itu, keinginan orang
yang hasud akan hilangnya apa yang diberikan Allah Swt terhadap orang yang
dihasudinya itu merupakan perbuatan yang sangat zalim.
Selanjutnya, seorang yang hasud sebaiknya melihat keadaan
orang yang dihasudinya. Jika orang yang dihasudinya itu memperoleh kenikmatan
duniawi semata, maka sebaiknya dia menyayanginya, bukan bersikap hasud
kepadanya, karena apa yang diperolehnya memang sudah ditentukan baginya bukan
untuk orang yang hasud tersebut. Bukankah kelebihan harta benda merupakan suatu
kesusahan? Seperti yang diungkapkan oleh al-Mutanabbi: “Seorang pemuda
menuturkan ‘kehidupannya’ yang kedua. Yang dibutuhkannya hanyalah yang
dimakannya. Sedangkan kelebihan kehidupannya hanya menjadi kesusahan baginya
saja”.
Maksud dari perkataan di atas adalah bahwa banyaknya harta
benda akan menyebabkan timbulnya perasaan khawatir yang berlebihan dalam
dirinya. Seseorang yang memiliki banyak jariya’h (budak perempuan), maka dia
akan semakin merasa khawatir kepada mereka atau bahkan banyak menyita perhatian
dan pikirannya. Begitu juga dengan seseorang yang sedang berkuasa, dia sangat
merasa ketakutan akan dicopotnya jabatan tersebut dari dirinya.
Ketahuilah, bahwa kenikmatan itu seringkali bercampur dengan
kesusahan. Kenikmatan mungkin hanya bisa dirasakan sebentar saja, tetapi
kesusahan yang mengiringinya mungkin akan dirasakan dalam waktu yang lama,
sehingga orang tersebut menginginkan agar kenikmatan itu segera sirna saja atau
dia bisa membebaskan diri dari kenikmatan tersebut. Yakinlah, bahwa sesuatu
yang membuat seseorang merasa iri terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain
belum tentu dirasakan oleh orang tersebut seperti yang dibayangkan oleh orang
yang hasud tersebut. Banyak orang yang menyangka bahwa para pejabat itu
bergelimang dengan kenikmatan. Mereka tidak memahami bahwa jika seseorang
sangat menginginkan sesuatu, kemudian dia berhasil memperolehnya, maka sesuatu
itu akan terasa biasa-biasa saja baginya, dan dia akan terus mengejar sesuatu
yang dianggapnya lebih tinggi dari itu. Sementara, orang yang hasud hanya
memandang semua itu dengan pandangan yang penuh harap dan penuh ambisi. Seorang
yang hasud hendaknya mengetahui konsekuensi penderitaan yang mungkin saja
dialami oleh orang yang dihasudinya di balik kenikmatan yang semu yang
dirasakannya.
Dalam sebuah hadits yang sanadnya bersambung kepada Zubair
bin al-‘Awwam, Rasulullah Saw bersabda: “Telah menjalar kepada kalian penyakit
umat-umat sebelum kamu, yaitu (penyakit) hasud dan permusuhan. Sifat permusuhan
merupakan sesuatu yang bisa merusak dan membinasakan, yakni merusak agama….
Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak dianggap
beriman sampai kalian saling mencintai (satu sama lain). Maukah kalian aku
beritahu tentang sesuatu yang jika kalian mengamalkannya, maka kalian akan
saling menyayangi, sebarkanlah salam di antara kalian”
Dalam hadits lain yang sanadnya bersambung kepada Salim dari
ayahnya, Rasulullah Saw bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَبْنِ
رَجُلٍ أَتَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ القُرْانَ فَهُوَ بَقُوْمُ بِهِ أَنَاء
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، و رَجُلٍ أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِى
الحَقِّ أَنَاء اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ َ
“Tidak diperbolehkan hasud kecuali kepada dua orang, yakni
kepada seorang laki-laki yang diberikan al-Qur’an oleh Allah Swt sedangkan dia
mengamalkannya siang dan malam; dan kepada seorang laki-laki yang diberikan
harta oleh Allah Swt lalu dia menginfakannya di jalan yang benar siang dan
malam”. (HR Bukhari dan Muslim)
1.1.2 Bahaya
Perbuatan Hasud
Sifat hasud sangant membahayakan
kehidupan manusia antara lain:
a.
menyebabkan hati tidak tenang karena
selalu akan memikirkan bagaimana keadaan itu dapat hilang dari seseorang.
b.
Menghancurkan persatuan dan
kesatuan, karena biasanya orang yang hasud akan mengadu domba dan suka
menfitnah
c.
Menghancurkan kebaikan yang ada
padanya. Rasulullah SAW bersabda:
عن ابى هريرة قال : قال رسول الله ص م اياكم و
الحسد, فان الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب (رواه
ابر داود)
Artinya: “Dari Abu Hurairah
katanya: Telah bersabda rasullah SAW : Hendaklah engkau menjauhkan diri dari
sifat hasud, sebab sifat hasud memakan kebaikan sebagaimana api membakar kayu
bakar.” (HR Abu Daud)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa
kita diperintahkan menjauhi sifat hasud, karena sifat hasud dapat memakan
kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.
1.1.3 Cara
Menghindari Hasud
Cara menghindari hasud antara lain
sebagai berikut:
a.
Meningkatkan iman dan takwa kepada
Allah SWT
b.
Menyadari bahwa pemberiya’n dari
Allah kepada manusia tidaklah sama, sesuai dengan kehendaknya
c.
Menyadari bahwa hasud dapat
menghapuskan kebaikan.
1.2
Sikap
Riya’
1.2.1 Pengertian Riya’
Riya’ artinya memperlihatkan (menampakkan) diri kepada orang
lain, supaya diketahui kehebatan perbuatannya, baik melalui pembicaraan,
tulisan ataupun sikap perbuatan dengan tujuan mendapat perhatian, penghargaan
dan pujian manusia, bukan ikhlas karena Allah
Riya’ itu bisa terjadi dalam niat, yaitu ketika akan
melakukan pekerjaan. Bisa juga terjadi ketika melakukan pekerjaan atau setelah
selesai melakukan suatu pekerjaan
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bercerita, ”Di hari kiamat
nanti ada orang yang mati syahid diperintahkan oleh Allah untuk masuk ke
neraka. Lalu orang itu melakukan protes, ‘Wahai Tuhanku, aku ini telah mati
syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku dimasukkan ke neraka?’
Allah menjawab, ‘Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin mendapatkan
pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai pemberani.Dan, apabila
pujian itu telah dikatakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari
perjuanganmu’.” Orang yang berjuang atau beribadah demi sesuatu yang bukan
ikhlas karena Allah SWT, dalam agama disebut riya. Sepintas, sifat riya
merupakan perkara yang sepele, namun akibatnya sangat fatal. Sifat riya dapat
memberangus seluruh amal kebaikan, bagaikan air hujan yang menimpa debu di atas
bebatuan. Allah SWT berfirman, (‘lihat al-qur’an di google)
Artinya: ‘Dan Kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan:
23).
Abu Hurairah RA juga pernah mendengar Rasulullah bersabda,
”Banyak orang yang berpuasa, namun tidak memperoleh sesuatu dari puasanya itu
kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang melakukan shalat malam
yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali tidak tidur semalaman.” Begitu
dahsyatnya penyakit riya ini, hingga ada seseorang yang bertanya kepada
Rasulullah, ”Apakah keselamatan itu?” Jawab Rasulullah, ”Apabila kamu tidak
menipu Allah.” Orang tersebut bertanya lagi, ”Bagaimana menipu Allah itu?”
Rasulullah menjawab, ”Apabila kamu melakukan suatu amal yang telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepadamu, maka kamu menghendaki amal itu
untuk selain Allah.” Meskipun riya sangat berbahaya, tidak sedikit di antara
kita yang teperdaya oleh penyakit hati ini. Kini tidak mudah untuk menemukan
orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah tanpa adanya pamrih dari
manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah ibadah, muamalah, ataupun
perjuangan. Meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dan lainnya, tujuannya
tetap sama: ingin menunjukkan amaliyahnya, ibadah, dan segala aktivitasnya di
hadapan manusia.
Tanda-tanda penyakit hati ini pernah dinyatakan oleh Ali bin
Abi Thalib. Kata beliau, ”Orang yang riya itu memiliki tiga ciri, yaitu malas
beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada di tengah-tengah orang
ramai, menambah amaliyahnya ketika dirinya dipuji, dan mengurangi amaliyahnya
ketika dirinya dicela.” Secara tegas Rasulullah pernah bersabda, ”Takutlah kamu
kepada syirik kecil.” Para shahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa yang
dimaksud dengan syirik kecil?” Rasulullah berkata, ”Yaitu sifat riya. Kelak di
hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang memiliki sifat riya,
‘pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian pernah memperlihatkan amal
kalian kepada mereka semasa di dunia. Lihatlah apakah kalian memperoleh imbalan
pahala dari mereka’?
1.2.2 Riya’
dalam Niat
Riya’ dalam niat, yaitu ketika mengawali pekerjaan, dia
mempunyai keinginan untuk mendapat pujian, sanjungan dan penghargaan dari orang
lain, bukan karena Allah. Padahal niat itu sangat menentukan nilai dari suatu
pekerjaan.
Jika pekerjaan yang baik dilakukan dengan niat karena Allah
maka perbuatan itu mempunyai nilai di sisi Allah. Jika dilakukan karena ingin
mendapat sanjungan dan penghargaan dari orang lain, maka perbuatan itu tidak
akan memperoleh pahala dari Allah. Hanya sanjungan dan itulah yang akan dia
peroleh. Nabi Muhammad SAW bersabda:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ … (رواه مسلم)
Artinya: “sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung
niatnya.” (HR Muslim)
1.2.3 Riya’
dalam Perbuatan
Riya’ dalam perbuatan ini, misalnya ketika mengerjakan
shalat dan bersedekah. Orang riya’ ini dalam mengerjakan shalat biasanya dai
memperlihatkan kesungguhan, kerajinan dan kekhusyukannya jika dia berada di
tengah-tengah orang atau jamaah. Sehingga orang lain melihat dia berdiri,
rukuk, sujud dan sebagainya. Dai shalat dengan tekun itu mengharapkan
perhatian, sanjungan dan pujian orang lain agar dia dianggap sebagai orang yang
taat dan tekun beribadah. Orang yang riya’ dalam shalatnya akan celaka
diakhirat nanti. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Maun ayat 4-7
dan An Nisa ayat 142:(lihat al-qur’an onlines di google)
Artinya: “ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, . orang-orang yang
berbuat riya’], dan enggan (menolong dengan) barang
berguna.” (QS Al Maun : 4-7)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu
Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk
shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di
hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
(QS An Nisa : 142)
1.2
.4 Bahaya
Riya’
Riya’ berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Terhadap
diri sendiri, bahaya riya’ itu akan dirasakan oleh dirinya berupa ketidak
puasan, rasa hampa, sakit hati dan penyesalan. Ketika orang lain tidak
menghargai, tidak menyanjungnya dan tidak berterima kasih kepadanya. Padahal ia
telah menolong orang lain, bersedekah dan sebagainya. Akhirnya, jiwa akan sakit
dan keluh kesah yang tiada hentinya.
Bahaya riya’ terhadap orang lain akan diolok-olok dan dicaci
oleh orang yang telah dibantu atau memberinya dengan riya’ itu. Dia mengumpat
dan mencaci itu karena keinginan untuk disanjung dan dipuji tidak dipenuhi
sesuai dengan kehendaknya. Orang yang telah diumpat dan dicaci itu pasti akan
tersinggung dan akhirnya terjadilah perselisihan antara keduanya.
Perbuatan riya’ sangat merugikan, karena Allah tidak akan
menerima dan memberi pahala atas perbuatannya. Hal ini tergambar dalam sabda
nabi Muhammad SAW yang artinya sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, Saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda: Sesungguhnya manusia yang pertama kali diadili di hari kiamat
adalah seorang yang mati syahid, kemudian dihadapkan dan diperlihatkan
kepadanya nikmat yang telah diterimanya dan iapun mengakuinya. Lantas ditanya:
Dipergunakan untuk apa nikmat itu?, ia menjawab: Aku berperang karenamu
sehingga aku mati syahid. Allah menjawab: Dusta engkau, sesunggunya kamu
berbuat (yang demikian itu) supaya kamu dikatakan sebagai pahlawan. Dan
kemudian (malaikat) diperintahkan untuk menyeret orang itu dan melemparnya ke
dalam neraka.
Kedua, seorang yang dilapangkan rezekinya dan dikaruniai
berbagain macam kekayaan, kemudian ia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya
nikmat yang telah diterimanya itu, dan ia pun mengakuinya. Lantas ditanya:
Dipergunakan untuk apa nikmat itu?. Ia menjawab: Aku tidak pernah meninggalkan
infaq pada jalan yang tidak engkau ridhai, melainkan aku berinfaq (hanya)
karena mu. Lalu Allah menjawab: Dusta engkau sesungguhnya kamu berbuat (yang
demikian itu) supaya kamu dikatakan sebagai dermawan. Kemudian (malaikat) diperintahkan
untuk menyeret orang itu dan melemparkannya ke dalam neraka.
Ketiga, seorang yang belajar dan mengajar dan suka membaca
Al Qur’an maka ia dihadapkan dan diperlihatkan nikmat yang telah diterimanya
itu dan ia pun mengakuinya, lantas ditanya: Dipergunakan untuk apa nikmat itu?.
Ia menjawab: Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta mambaca Al Qur’an hanya
untuk mu (ya Allah). Lalu Allah menjawab: Dusta engkau. Sesungguhnya engkau
menuntut ilmu supaya dikatakan orang pandai dan engkau membaca Al Qur’an supaya
dikatakan sebagai qari. Lalu (malaikat) diperintahkan untuk menyeret orang itu
dan melemparkannya ke dalam neraka.”
(HR Muslim)
1.3
Sikap
Aniaya
1.3.1 Pengertian Aniaya
Aniaya adalah perbuatan bengis seperti penyiksaan atau
penindasan. Menganiaya berarti menyiksa, menyakiti dan berbagai bentuk ketidak
sewengan seperti menindas, mengambil hak orang lain dengan paksa dan
lain-lainnya
Pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa penganiayan
merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa. Perbuatan itu sama
dosanya dengan mencuri, bahkan lebih besar, karena didalamnya terdapat unsur
kekerasan. Jika sampai membunuh korbannya maka jelas perbuatan itu termasuk
salah satu dosa besar. Firman Allah SWT:(lihat al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS Al Maidah : 33)
1.3.2 Hukuman Orang Aniaya
Dari ayat tersebut, dinyatakan bahwa hukuman bagi penganiaya
diberlakukan sesuai dengan jenis perbuatan yang dilakukannya, yaitu sebagai
berikut.
1.
Jika menganiaya dan membunuh korban
serta mengambil hartanya, penganiaya dihukum dibunuh dan disalib
2.
Jika ia hanya mengambil harta tanpa
membunuh korbannya maka hukumannya dihukum potong tangan dan kakinya dengan
cara silang.
3.
Jika ia tidak mengambil harta dan
membunuh karena tetangkap sebelum sempat melakukan sesuatu atau hanya
menakui0nakuti saja maka hukumannya adalah dipenjara.